Suara gembira anak-anak yang mengenakan seragam merah putih mengumandangkan bacaan yang tak terbendung dari sudut salah satu ruang kelas di Kampung Cijantur, Rumpin, Kabupaten Bogor. Kehangatan suara ini tak sebanding dengan kondisi fisik ruang yang mulai rapuh, dengan lantai dingin tanpa keramik dan hanya satu papan tulis yang digunakan secara bergantian.
Di balik suasana yang terlihat suram tersebut, ada satu sosok inspiratif bernama Zentri Hartanti, yang merupakan satu-satunya guru perempuan di sekolah itu. Setiap hari, ia berusaha keras untuk menjaga harapan masa depan anak-anak di kampung ini, agar tidak pudar seperti ruangan yang mereka gunakan untuk belajar.
Sejak tahun 2017, Zentri mengajar di SD Negeri Kadusewu Jarak Jauh, sebuah sekolah kecil yang hanya memiliki empat ruang kelas untuk menampung sekitar 150 siswa dari kelas satu hingga enam. Dengan jumlah pengajar yang sangat terbatas, yakni hanya lima orang, tantangan yang dihadapi Zentri begitu besar.
Fasilitas yang minim dan gaji yang jauh dari cukup sebagai guru honorer tidak menghentikannya untuk mengabdi. Semangat dan antusiasme murid-murid menjadi salah satu alasan utama Zentri bertahan di sekolah ini. Ia bertekad untuk menyelamatkan anak-anak dari pernikahan dini yang masih kerap terjadi.
Kondisi Pendidikan yang Kontras di Dekat Ibu Kota
Kampung Cijantur terletak hanya sekitar 2,5 jam perjalanan dari pusat pemerintahan Jakarta, namun realitas kehidupan yang ada di sini terasa sangat berbeda. Banyak anak perempuan yang menikah di umur 14 atau 15 tahun, bahkan ada yang dinikahkan setelah menstruasi pertama.
Di kawasan ini, pendidikan bukanlah prioritas utama. Sejumlah orang tua masih memiliki keyakinan bahwa anak perempuan cukup belajar membaca dan menghitung, bukan untuk mengejar cita-cita, melainkan untuk mempersiapkan diri menjadi istri dan ibu rumah tangga.
Zentri mengingat dengan sedih beberapa ungkapan yang membekas di hatinya, seperti “Ngapain sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya juga ke dapur.” Kalimat-kalimat tersebut mencerminkan pandangan yang masih melekat dalam masyarakat mengenai peran perempuan.
Di tengah pandangan demikian, kebangkitan harapan pendidikan menjadi sangat krusial. “Kadang sakit hati, pendidikan kita meskipun dekat kota masih kurang,” ungkapnya. Meskipun kondisi tidak ideal, Zentri percaya bahwa anak-anak di Cijantur berhak mendapatkan masa depan yang lebih baik.
Fenomena pernikahan dini di Cijantur sangat memprihatinkan, di mana banyak perempuan menikah di usia sangat muda. Praktik ini umumnya berujung pada perceraian, dan sering kali perempuan harus memasuki pernikahan baru sebelum usia 20 tahun.
Dampak Negatif dari Pernikahan Dini
Pernikahan dini tidak hanya menciptakan masalah sosial, tetapi juga membawa dampak serius terhadap kesehatan. Di Cijantur, angka kelahiran tinggi, tetapi angka kematian bayi dan risiko kesehatan bagi perempuan yang hamil di usia remaja sangat mengkhawatirkan.
Remaja putri yang terjebak dalam pernikahan dini sering mengalami kesulitan fisik dan mental, yang dapat berujung pada keguguran dan masalah kesehatan lainnya. “Mereka belum siap menjadi ibu, tapi sudah harus mengasuh anak,” ujarnya dengan nada prihatin.
Pendidikan yang terputus akibat pernikahan dini menciptakan siklus yang sulit diputus. Remaja putri kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan dan terjebak dalam pernikahan yang penuh tekanan. “Kurangnya pemahaman mengenai kesehatan reproduksi semakin memperparah situasi ini,” tambahnya.
Di Cijantur, banyak anak-anak yang harus membantu orang tua mereka saat musim panen, yang menyebabkan absensi mereka di sekolah. Zentri berjuang untuk meyakinkan orang tua agar anak-anak tetap di kelas hingga jam belajar selesai.
“Pendidikan sekarang sangat penting, Bu, Pak. Jika anak-anak ingin mendapatkan pekerjaan, mereka butuh ijazah dan keahlian,” ungkapnya dalam setiap kesempatan berbincang dengan orang tua dan masyarakat setempat.
Pendidikan Sebagai Kunci Memutus Rantai Pernikahan Dini
Zentri tidak hanya mengajar, ia juga aktif berkoordinasi dengan berbagai pihak, termasuk kepala desa dan petugas BKKBN untuk memberikan penyuluhan. Ia memberi penekanan bahwa pernikahan dini tidak hanya berdampak negatif secara kesehatan, tetapi juga masa depan anak perempuan.
Perjuangan yang dilakukan oleh Zentri bukanlah tanpa rintangan. Ia harus menempuh perjalanan sekitar 16 kilometer setiap hari, melewati jalan berbatu dan kebun yang tidak memiliki penerangan. Terkadang, sulitnya akses jalan membuatnya harus berjalan kaki sejauh 8 kilometer.
Namun, semua tantangan tersebut bukanlah halangan bagi Zentri. Ia percaya bahwa pendidikan adalah senjata ampuh untuk melawan tradisi pernikahan dini. Setiap anak yang mampu melanjutkan pendidikan adalah sebuah kemenangan tersendiri yang harus dirayakan.
Perlahan namun pasti, pandangan masyarakat mulai beralih. Jika dulu, banyak anak perempuan berhenti sekolah setelah lulus SD, kini terdapat yang melanjutkan ke SMP dan bahkan SMA. “Alhamdulillah, orang tua kini lebih terbuka terhadap pendidikan,” ucap Zentri dengan optimisme.
Namun, Cijantur hanyalah satu bagian kecil dari fenomena pernikahan dini yang terjadi di Indonesia. Meskipun ada aturan hukum yang mengatur batas usia minimum pernikahan, praktik ini masih terjadi di banyak daerah, dengan berbagai faktor pendorong seperti kemiskinan dan budaya.
Perjuangan yang Harus Terus Berlanjut
Zentri menyadari bahwa upaya untuk mengubah pola pikir masyarakat memerlukan waktu yang tidak sebentar. Namun, setiap langkah maju, meskipun kecil, harus tetap dihargai. Bagi Zentri, satu papan tulis dan empat ruang kelas yang sederhana adalah benteng untuk melawan tradisi yang sudah mengakar.
“Saya ingin anak-anak di sini bisa bersekolah dan hidup lebih baik dari orang tuanya,” ujarnya. Di tengah segala keterbatasan yang ada, suara tawa dan semangat belajarnya menjadi alasan bagi Zentri untuk terus berjuang.
Pendidikan menjadi fondasi penting untuk memutus siklus pernikahan dini yang masih melanda berbagai sudut Indonesia. Dan melalui dedikasinya, Zentri membuktikan bahwa setiap pengorbanan dalam mencerdaskan anak bangsa adalah sebuah investasi untuk masa depan yang cerah.