Seorang profesor terkemuka baru-baru ini mengeluarkan kritik tajam terhadap respon negara-negara Muslim terhadap krisis yang berlangsung di Gaza dan Afghanistan. Professor Amin Saikal, yang juga merupakan mantan Wakil Rektor Universitas Victoria, menyatakan bahwa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) hanya berfokus pada retorika tanpa melakukan tindakan nyata yang dibutuhkan.
Dalam tulisannya, Saikal menyoroti bahwa negara-negara Arab dan Muslim tampaknya tidak efektif dalam menangani dua isu krusial tersebut. Dia menggemakan pendapat bahwa OKI, sebagai badan yang diharapkan dapat mewakili kepentingan umat Muslim secara luas, gagal memenuhi harapan tersebut.
Situasi di Gaza semakin memburuk akibat konflik berkepanjangan, sementara perhatian terhadap Taliban di Afghanistan juga patut dicermati. Saikal menggarisbawahi bahwa krisis ini semakin diperparah oleh ketidakmampuan OKI untuk berlintas batas dalam mengambil tindakan konkrit.
Dia menekankan bahwa kekuatan retorika OKI tidak diimbangi dengan aksi nyata, yang bermanifestasi dalam ketidakberdayaan untuk melakukan diplomasi efektif mengatasi masalah mendasar. Saikal juga merujuk pada keterbatasan kemampuan organisasi ini dalam memobilisasi anggotanya untuk mendukung langkah-langkah konkret.
Dalam konteks konflik Gaza, misalnya, dia menunjukkan bahwa OKI tidak mampu membujuk negara-negara tetangga Israel untuk membuka perbatasan agar bantuan kemanusiaan dapat mengalir ke wilayah yang terpuruk tersebut. Hal ini menciptakan kesan bahwa OKI tidak berfungsi sebagaimana mestinya dalam mencapai tujuan kemanusiaan.
OKI dan Tantangan Global yang Dihadapi Dunia Muslim
Dari perspektif Saikal, tantangan yang dihadapi oleh negara-negara Muslim tidak hanya terbatas pada masalah Gaza dan Afghanistan. Dia berpendapat bahwa disfungsi dalam OKI menunjukkan adanya ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan realitas geopolitik yang kompleks saat ini. Strategi yang berkembang di antara anggota sangat minim.
Saikal menuturkan bahwa OKI seharusnya berperan sebagai jembatan antara negara-negara anggota untuk bersatu dalam menghadapi tantangan yang mereka hadapi. Namun, realitanya adalah bahwa banyak negara Muslim lebih terfokus pada kepentingan nasional mereka sendiri daripada kepentingan kolektif Islam.
Salah satu contohnya adalah ketidakmampuan OKI untuk mendesak negara-negara anggota yang kaya sumber daya, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, untuk mengecam tindakan Israel. Padahal, intervensi semacam itu dapat berkontribusi pada perubahan dinamis dalam relation internasional di kawasan.
Saikal juga mencatat bahwa meskipun ada seruan untuk mengeluarkan Israel dari sebuah organisasi internasional, respon OKI lemah dan tidak konsisten. Hal ini berimplikasi luas pada kredibilitas dan kemampuan organisasi tersebut untuk bertindak dalam situasi kritis di masa depan.
Implikasi Sikap OKI terhadap Pendidikan Perempuan di Afghanistan
Selain isu Gaza, Saikal juga mengeksplorasi dampak dari kurangnya tindakan OKI di Afghanistan. Kehadiran Taliban yang dikenal dengan kebijakan represif terhadap pendidikan perempuan menjadi salah satu faktor yang mengkhawatirkan. Seruan dari Sekretaris Jenderal OKI untuk menyatukan ulama Islam melawan keputusan Taliban tak mendapatkan tanggapan yang berarti.
Krisis pendidikan yang dialami perempuan di Afghanistan semakin menunjukkan ketidakmampuan OKI dalam melakukan intervensi yang konstruktif. Di tengah penolakan Taliban terhadap pendidikan perempuan, suara-suara kritis dari organisasi keagamaan internasional masih minim, menunjukkan ketidakpedulian terhadap tantangan lebih luas yang dihadapi umat Muslim.
Secara umum, strategi OKI yang hanya terfokus pada diskusi verbal tanpa aksi nyata semakin memperumit keadaan. Hal ini membawa pertanyaan besar mengenai efektivitas lembaga ini dalam memperjuangkan hak-hak umat Muslim di seluruh dunia.
Keberanian untuk mengangkat isu pendidikan perempuan dan memobilisasi Duta Besar untuk mendorong perubahan kebijakan seharusnya menjadi bagian integral dalam pendekatan OKI. Nyatanya, ketidakmampuan untuk bertindak menciptakan kesan bahwa organisasi ini kehilangan legitimasi di mata dunia.
Menuju Reformasi dalam Organisasi Kerja Sama Islam
Berdasarkan penilaian Saikal, sudah saatnya bagi OKI untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap fungsinya. Reformasi diperlukan agar organisasi ini lebih responsif terhadap tantangan yang dihadapi oleh negara-negara anggotanya. Menyatukan umat Muslim dalam menghadapi tantangan global harus menjadi prioritas utama.
Adanya pergeseran dalam dinamika geopolitik, terutama antara negara-negara besar seperti AS dan China, memaksa OKI untuk beradaptasi dan berkembang. Jika tidak, OKI berisiko menjadi institusi yang hanya mampu berkata tanpa bertindak, yang selanjutnya hanya menyakiti posisi tawar negara Muslim di arena internasional.
Bila OKI ingin memperoleh kembali kepercayaan anggotanya, langkah-langkah konkret dan kebijakan luar negeri yang kooperatif diperlukan. Ini membutuhkan komitmen nyata dari negara-negara anggota untuk memperkuat solidaritas demi kepentingan masyarakat Muslim global.
Akhirnya, hanya melalui tindakan nyata dan kolaborasi yang tulus, OKI dapat berpindah dari retorika menjadi sebuah kekuatan yang benar-benar mewakili suara umat Muslim di seluruh dunia.